Langit, Laut dan kemelut

on

Di bawah lamunan malam pekat

Aku teringat kisah langit dan laut

Ketika aku duduk merapatkan diri bersandar pada sebongkah batu

Sembari menikmati sang waktu

Di waktu itu, pantai begitu sepi

Jauh dari hingar bingar para pelancong

Yang kerjaannya hanya teriak, foto, teriak kembali, berenang lantas membuang sesuatu

Entah membuang bajunya, entah membuang hasil kunyahan pertamanya,

Entah membuat perahu yang dibuatnya dari sepercik kertas bertanda AA

Entah membuang sepatu yang jelas-jelas tak diperuntukan untuk melaut

Entah membuang kerah baju yang dirasanya mengikat lehernya selalu

Entah membuang rindu pada kekasih yang ada di ujung batu

Entah membuang malu karena ditolak melulu

Atau membuang pelacur-pelacur sampah yang siap memperkosa laut dan isinya

Dalam sepi itu, aku mendengar ada yang berbisik

Satu bisik, satu bisik, satu bisik eh dua

Yah ada dua yang berbisik

Awalnya bisik, lantas berubah mengaduh, lalu menyerapah, mengaduh lagi, menyerapah lagi

Wahh… ini sih bukan bisik namanya, sekarang sudah berubah menjadi gaduh

Gaduh satu ditambah satu, lengkap sudah sepiku, berubaah…

Kudengarkan dengan seksama gaduh itu,

Lengkap dengan setiap keluh

Lengkap dengan peluh

Lengkap dengan saling mengadu dan mengaduh

“Hei satu-satu..” pintaku

Aku pasti mendengarkan, asalkan kalian bergiliran

Ceritakan satu persatu

Keluhkan satu per Satu

Aduhkan kata itu satu satu

Oke giliranmu langit, ceritakan kegaduhanmu

Langit tersontak kaget karena mendapat giliran pertama

Mukanya merah tersipu karena kini mendadak dia harus bercerita

Dia tak bisa bercerita, karena biasanya dia hanya berkata-kata dibalik hembusan angin

Yang selalu meniup pergi kata-katanya menjauh dari telinga manusia

Setelah menunggu lebih dari seminggu, barulah ia mau

“oke aku akan bercerita..” Katanya

Tapi kau tak boleh tertawa

Karena ini bukan kisah adam dan hawa

Karena ini bukan lelucon usang tentang sukab

Karena ini bukan juga kisah menyek-menyek ala rangga cinta

Karena itu juga bukan tentang sang penista agama

Apalagi tentang sebuah amplop yang berisi senja.

Janji? Aku menganggu tanda setuju.

Aku iri,

Kepada setiap kaki yang menginjak retakan hati

Aku iri,

Kepada setiap tangan yangmenyentuh lembut nadi

Aku iri,

Kepada setiap nama yang tertulis di bahumu

Aku iri kepada setiap tubuh yang bisa bercinta manja dengan ombakmu

Aku iri kepadamu laut.

Heh, kenapa denganmu?

Mengapa kau iri kepadaku?

Laut yang sedari tadi diam, kini menjadi tak sabaran

Padahal belum tiba giliran eh sudah berkelana dengan sanggahan

Kamu ga tau sih,

Sakitnya injakan para manusia gegabah yang berlari-lari diatasku, perih

Kamu ga tau sih,

Tangan-tangan genit yang sering menyentuhku dengan tidak senonoh

Kamu ga tau sih,

Tubuh-tubuh bau dan menjijikan yang setiap hari harus kubersihkan dengan buih

Justru aku iri denganmu langit,

Manusia tidak bisa menggapaimu

Mereka tidak bisa menginjakmu

Mereka tidak bisa menggagahimu

Kamu tidak perlu mencium bau-bau ketiak mereka

Kamu tidak peru khawatir dengan sampah-sampah

Yang siap memperkosamu kapan saja

Kamu tidak perlu khawatir dengan berjubelnya manusia

Karena postingan socmed, yang lantas membuat mereka berdatangan dan bergantian

Aku tidak lagi sepi, aku tidak lagi sunyi, aku tidak lagi perawan.

Kamu masih iri denganku? Hah?!?

Sudah…sudah…sudah… Jangan berkelahi

Aku yang sedari tadi menahan tawa cekikik sendiri

Bukan ini yang mau aku tulis

Kenapa jadi begini…hahahhahahah…

Sudahlah,

Kadang seringkali cerita menentukan isinya sendiri,

Menentukan nasibnya sendiri…

Hahhahahahaha…

-ksw-

 

Leave a comment