Di bawah lamunan malam pekat
Aku teringat kisah langit dan laut
Ketika aku duduk merapatkan diri bersandar pada sebongkah batu
Sembari menikmati sang waktu
…
Di waktu itu, pantai begitu sepi
Jauh dari hingar bingar para pelancong
Yang kerjaannya hanya teriak, foto, teriak kembali, berenang lantas membuang sesuatu
Entah membuang bajunya, entah membuang hasil kunyahan pertamanya,
Entah membuat perahu yang dibuatnya dari sepercik kertas bertanda AA
Entah membuang sepatu yang jelas-jelas tak diperuntukan untuk melaut
Entah membuang kerah baju yang dirasanya mengikat lehernya selalu
Entah membuang rindu pada kekasih yang ada di ujung batu
Entah membuang malu karena ditolak melulu
Atau membuang pelacur-pelacur sampah yang siap memperkosa laut dan isinya
…
Dalam sepi itu, aku mendengar ada yang berbisik
Satu bisik, satu bisik, satu bisik eh dua
Yah ada dua yang berbisik
Awalnya bisik, lantas berubah mengaduh, lalu menyerapah, mengaduh lagi, menyerapah lagi
Wahh… ini sih bukan bisik namanya, sekarang sudah berubah menjadi gaduh
Gaduh satu ditambah satu, lengkap sudah sepiku, berubaah…
Kudengarkan dengan seksama gaduh itu,
Lengkap dengan setiap keluh
Lengkap dengan peluh
Lengkap dengan saling mengadu dan mengaduh
…
“Hei satu-satu..” pintaku
Aku pasti mendengarkan, asalkan kalian bergiliran
Ceritakan satu persatu
Keluhkan satu per Satu
Aduhkan kata itu satu satu
Oke giliranmu langit, ceritakan kegaduhanmu
…
Langit tersontak kaget karena mendapat giliran pertama
Mukanya merah tersipu karena kini mendadak dia harus bercerita
Dia tak bisa bercerita, karena biasanya dia hanya berkata-kata dibalik hembusan angin
Yang selalu meniup pergi kata-katanya menjauh dari telinga manusia
…
…
…
Setelah menunggu lebih dari seminggu, barulah ia mau
“oke aku akan bercerita..” Katanya
Tapi kau tak boleh tertawa
Karena ini bukan kisah adam dan hawa
Karena ini bukan lelucon usang tentang sukab
Karena ini bukan juga kisah menyek-menyek ala rangga cinta
Karena itu juga bukan tentang sang penista agama
Apalagi tentang sebuah amplop yang berisi senja.
Janji? Aku menganggu tanda setuju.
…
Aku iri,
Kepada setiap kaki yang menginjak retakan hati
Aku iri,
Kepada setiap tangan yangmenyentuh lembut nadi
Aku iri,
Kepada setiap nama yang tertulis di bahumu
Aku iri kepada setiap tubuh yang bisa bercinta manja dengan ombakmu
Aku iri kepadamu laut.
…
Heh, kenapa denganmu?
Mengapa kau iri kepadaku?
…
Laut yang sedari tadi diam, kini menjadi tak sabaran
Padahal belum tiba giliran eh sudah berkelana dengan sanggahan
…
Kamu ga tau sih,
Sakitnya injakan para manusia gegabah yang berlari-lari diatasku, perih
Kamu ga tau sih,
Tangan-tangan genit yang sering menyentuhku dengan tidak senonoh
Kamu ga tau sih,
Tubuh-tubuh bau dan menjijikan yang setiap hari harus kubersihkan dengan buih
…
Justru aku iri denganmu langit,
Manusia tidak bisa menggapaimu
Mereka tidak bisa menginjakmu
Mereka tidak bisa menggagahimu
Kamu tidak perlu mencium bau-bau ketiak mereka
Kamu tidak peru khawatir dengan sampah-sampah
Yang siap memperkosamu kapan saja
Kamu tidak perlu khawatir dengan berjubelnya manusia
Karena postingan socmed, yang lantas membuat mereka berdatangan dan bergantian
Aku tidak lagi sepi, aku tidak lagi sunyi, aku tidak lagi perawan.
Kamu masih iri denganku? Hah?!?
…
Sudah…sudah…sudah… Jangan berkelahi
Aku yang sedari tadi menahan tawa cekikik sendiri
Bukan ini yang mau aku tulis
Kenapa jadi begini…hahahhahahah…
…
Sudahlah,
Kadang seringkali cerita menentukan isinya sendiri,
Menentukan nasibnya sendiri…
Hahhahahahaha…
-ksw-